Data World Economic Forum pada kuartal kedua 2020 menunjukkan kegiatan belajar sekitar 1,2 miliar anak di dunia terganggu akibat pandemi Covid-19. Kegiatan belajar-mengajar yang awalnya bersifat tatap muka beralih ke pembelajaran jarak jauh. Merespons fenomena tersebut, kini banyak bermunculan perusahaan rintisan yang menawarkan solusi di bidang teknologi pendidikan.
Minat investor pada layanan teknologi pendidikan terbilang cukup tinggi, bahkan sejak sebelum pandemi merebak. Total investasi global di bidang teknologi pendidikan selama 2019 mencapai US$18,6 miliar (sekitar Rp259 triliun), dan diperkirakan akan terus meningkat hingga US$350 miliar (sekitar Rp4,8 kuadriliun) di 2025.
Investor juga mulai menunjukkan ketertarikan pada layanan teknologi pendidikan di tanah air, khususnya selama pandemi. Data investasi startup Indonesia yang dihimpun Tech in Asia mencatat bahwa dalam dua tahun terakhir, perusahaan teknologi pendidikan merupakan salah satu dari lima vertikal bisnis yang paling banyak mendapat kucuran dana investor.
Pertumbuhan pengguna layanan teknologi pendidikan melonjak. Telkomsel, penyedia layanan seluler terbesar di Indonesia, menyebut ada kenaikan traffic payload untuk aktivitas belajar daring hingga 236 persen di jaringannya sejak pandemi meluas.
CEO startup teknologi pendidikan AyoBlajar Fariz Isnaini memperkirakan ada 45 juta siswa di Indonesia yang berpotensi jadi calon pengguna layanan teknologi pendidikan. Angka tersebut bahkan belum menghitung tenaga pengajar ataupun lembaga pendidikan di dalam negeri.
Masalah yang dihadapi dan solusinya
Implementasi teknologi pendidikan di Indonesia masih menemui beberapa hambatan, terutama dari segi infrastruktur dan kesiapan pengajar ataupun siswa. Organisation for Economic Cooperation and Development mencatat pemerataan akses untuk belajar daring di Indonesia masih rendah. Hanya ada sekitar 34 persen siswa di tanah air yang punya akses ke komputer.
Banyak startup teknologi pendidikan di tanah air sadar akan masalah tersebut. Beberapa mulai fokus mengembangkan produk pembelajaran jarak jauh, misalnya mengemas materi pembelajaran dalam medium hard drive agar dapat menjangkau siswa yang tidak punya akses ke internet.
Startup teknologi pendidikan AyoBlajar juga melakukan pendekatan berbeda. Mereka sudah menyiapkan ratusan video belajar beserta ribuan soal latihan ujian yang sesuai dengan kurikulum dari tingkat SMP sampai SMA, sehingga bisa diakses kapan pun dan di mana pun oleh para penggunanya.
Dengan cara tersebut siswa relatif lebih cepat mengadopsi teknologi. Namun masih banyak juga pengajar yang kurang melek teknologi dan luput dari perhatian. Fariz mengungkapkan perusahaan teknologi pendidikan harus bisa mengakomodasi masalah tersebut, baik dengan mengadakan pelatihan komprehensif untuk pengajar ataupun mengembangkan tool yang memudahkan mereka ketika mengajar daring.
Fariz dengan AyoBlajar telah mengembangkan Learning Management System (LMS) eCadme, satu-satunya LMS di Indonesia yang sudah terintegrasi dengan fitur-fitur pembelajaran jarak jauh seperti live streaming agar para pengajar atau tutor bisa lebih cepat beradaptasi dengan teknologi.
Satio Pramono, guru SMPN 7 Jakarta, adalah salah satu pengajar yang sudah merasakan manfaat LMS milik AyoBlajar. “eCadme memberikan kemudahan bagi guru karena semua fitur sudah terintegrasi di satu tempat. Peserta didik juga lebih terorganisir, karena hanya yang memiliki akun terdaftar saja yang bisa mengikuti kegiatan pembelajaran,” ungkap Satio.
Hambatan lain yang menghantui dari segi bisnis adalah rendahnya kemampuan pengguna untuk membayar layanan teknologi. Bank Dunia melaporkan bahwa jumlah pengguna yang mau membayar layanan teknologi pendidikan di Indonesia ketika masa percobaan (trial) habis adalah kurang dari lima persen.
Hal tersebut mendorong banyak startup teknologi pendidikan mencari solusi untuk mempertahankan pengguna berbayar pada platform masing-masing. Salah satunya dengan membuat fitur atau layanan yang memastikan pengguna akan kembali lagi sebagai pengguna.
Startup AyoBlajar coba mengatasi hal tersebut dengan merilis Kelas Online setiap hari secara konsisten di platformnya. Video yang mereka hasilkan bersifat dua arah, sehingga pengguna dapat bertanya langsung terkait materi yang sedang diajarkan. Fitur ini mendorong siswa untuk terus kembali menggunakan aplikasi AyoBlajar sekaligus mengukur kemampuan siswa secara real time.
AyoBlajar juga berkolaborasi dengan instansi pemerintahan, organisasi pendidikan, hingga stasiun televisi untuk menumbuhkan kesadaran tentang pentingnya pendidikan pada seluruh anak Indonesia. Langkah tersebut secara tak langsung menumbuhkan kepercayaan pada pengguna yang sedang mencari layanan teknologi pendidikan terpercaya.
Hingga saat ini sudah ada sekitar 17.000 orang yang terdaftar sebagai pengguna layanan AyoBlajar sejak pertama kali diluncurkan pada September 2020 lalu. Di saat bersamaan, ada sekitar 10.000 pengguna aktif tersebar di 29 institusi pendidikan yang telah menggunakan LMS eCadme milik AyoBlajar.
Masih banyak peluang
Masa depan layanan teknologi pendidikan masih panjang. Jika ada hal positif yang bisa diambil dari pandemi, tentu adalah kelahiran sederet startup teknologi pendidikan yang membuktikan bahwa layanan mereka tidak kalah efektif dari sistem pendidikan tradisional.
AyoBlajar sudah mengumpulkan pendanaan hingga US$1 juta (sekitar Rp14,5 miliar) hingga saat ini. Fariz berambisi untuk membuka akses platform AyoBlajar sebesar-besarnya untuk semua orang. “Dalam lima tahun ke depan kami ingin menargetkan total pengguna di angka 10 juta, 500.000 pengguna berbayar, dan pendapatan hingga 15 juta dolar.”